bytenews.id – BEIJING– 15 Juni 2025 – Dunia industri global sedang menghadapi ancaman besar usai keputusan kontroversial dari Pemerintah China yang resmi mengaktifkan larangan ekspor terhadap seluruh kategori critical minerals atau mineral kritis. Keputusan ini dinilai sebagai salah satu langkah paling dramatis dan strategis abad ini, yang berpotensi melumpuhkan rantai pasok industri otomotif, militer, hingga teknologi tinggi di berbagai negara.
Larangan ini mencakup bahan vital seperti logam tanah jarang (rare earth elements), termasuk neodymium, dysprosium, dan terbium, yang merupakan komponen penting untuk pembuatan magnet superkuat dalam motor listrik, drone militer, semikonduktor, satelit, hingga kendaraan listrik.
Menurut laporan International Energy Agency (IEA), lebih dari 90% proses pengolahan tanah jarang dunia saat ini masih dikendalikan oleh China. Meskipun tambangnya tersebar di negara seperti Australia dan Kanada, proses pemurniannya tetap bergantung pada China. Kini, dengan diberlakukannya larangan ekspor, dunia industri global pun berada di ambang krisis.
Efek Domino Mulai Terasa
Tak lama setelah kebijakan ini diumumkan, gelombang kepanikan langsung menyapu industri-industri besar dunia. Di Amerika Serikat, Jepang, hingga Eropa, para pelaku industri mulai mengeluhkan ancaman terhentinya produksi dalam hitungan minggu.
Wall Street Journal menggambarkan kebijakan China ini sebagai bentuk “cengkaman kritis terhadap teknologi global”, sementara Financial Times menyebut China telah menjadikan mineral sebagai “senjata ekonomi” layaknya penggunaan minyak sebagai senjata geopolitik pada era 1970-an.
Ketua Asosiasi Industri Otomotif Jerman, Hildegard Müller, dalam pernyataannya menyebutkan bahwa:
“Larangan ekspor ini adalah langkah ekstrem yang bisa menyebabkan kolaps total industri otomotif global jika tidak segera direspons. Kita sedang menyaksikan jantung teknologi dunia ditekan dengan sangat sistematis.”
Bentuk Balasan Terhadap Amerika?
Kebijakan ini diyakini sebagai balasan terhadap langkah Presiden Amerika Serikat saat ini, Donald Trump, yang belum lama ini menaikkan tarif impor barang dari China hingga 145%. Harapannya adalah mengembalikan daya saing produk dalam negeri AS dan membawa kembali industri manufaktur ke tanah Amerika.
Namun, China tak tinggal diam. Alih-alih membalas dengan tarif serupa, mereka memilih “menahan leher industri dunia” dengan memutus pasokan bahan baku paling kritis di era digital ini.
Caroline Leavitt, pejabat Gedung Putih, menyatakan bahwa kebijakan China ini:
“Telah melanggar prinsip-prinsip perdagangan internasional. Ini bukan sekadar angka ekspor-impor, ini soal jantung dari rantai pasok global.”
Ancaman Kehancuran Industri Otomatisasi
Jika larangan ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka dampaknya bisa sangat luas:
Pabrik mobil di Jerman, Jepang, hingga India terancam berhenti produksi.
Pengembangan teknologi drone dan pertahanan militer tertunda.
Industri semikonduktor dan kendaraan listrik dunia bisa lumpuh dalam hitungan minggu.
Kesimpulan
Dunia kini berada di titik kritis dalam menghadapi realitas baru: ketergantungan total pada satu negara untuk bahan paling esensial abad ini. Jika tidak ada jalan keluar diplomatik maupun strategi diversifikasi yang cepat, industri modern global bisa menghadapi kelumpuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
(Cender)